kabarindonesia.net, Jakarta — KONFLIK tindak kekerasan terhadap masyarakat Aceh hingga kini masih mengalami jalan panjang dan belum menemukan titik terang. Oleh sebab itu, melalui Memorandum of Understandingt (MoU) yang telah ditandatangani oleh pihak Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus 2015 lalu, kembali menandai akan berakhirnya perseteruan tersebut. Maka butir-butir yang dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Aceh (Pasal 229) untuk mengamanatkan proses pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM di Aceh sebagai bentuk mikanisme untuk menuntaskan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Tentunya tujuan pembentukan KKRA merupakan untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah terjadi selama konflik di Aceh. Dan pihak Pemerintah Aceh menerbitkan Qanum Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Dalam Pasal 3 Qanum Nomor 17 Tahun 2013 menyatakan bahwa pembentukan KKR Aceh bertujuan untuk memperkuat perdamaian dengan mengungkapkan kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang menjadi masa lalu.
Menurut Ketua Komnas Ham Perempuan, Azriana mengatakan, bahwa menjalankan qanum KKR Aceh, pada 24 Oktober 2016 lalu, Pemerintah Acehy telah melantik 7 (tujuh) anggota Komisioner yang akan bertugas untuk menjalankan atas mandat qanum tersebut. Ia menjelaskan, bahwa langkah-langkah hukum telah dilakukan oleh Tim Komisioner KKR untuk merealisasikan nilai-nilai kerjqa dengan mendapatkan duku8ngan penuh oleh masyarakat sipil dan lembaga negara, ditingkat daerah maupun nasional. “Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM dengan mandat khusus penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, sangat menyambut baik atas pembentukan KKR Aceh,” kata Azriana kepada wartawan di Kantor Komnas Perempuan di Jalan Latuharhary Nomor.48, Jakarta Rabu (23/8) siang.
“Pemerintah Pusat memberikan dukungan politik maupun anggaran untuk mempercepat proses kerja-kerja atas pengungkapan kebenaran dan pemulihan para korban dalam pelanggaran HAM masa lalu. Pemerintah Aceh dimana Gubernur dan DPR Aceh untuk menetapkan sejumlah kebijakan dan mengalokasikan anggaran dan memastikan tugas atau kewenangan KKR Aceh. Dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia memberikan dukungan untuk memastikakn tidak terulang kembali,” katanya.
Ia menambahkan, bahwa peran Komnas Perempuan sebagai mitra yang cukup strategis KKR Aceh merupakan spirit untuk menggerakan dalam pengungkapan kasus kebenaran, reparasi atas perlindungan maupun bentuk rekonsiliasi didalam mempertimbangkan adanya aspek-aspek gender bagi korban perempuan. Karena Komnas Perempuan, KKR Aceh akan membangun sistem jaringan dengan Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). “Komnas Perempuan akan mengambil kesaksian sekitar 500 korban maupun keluarga,” tandasnya. (Hadi)