kabarindonesia.net, Depok — LHB Master Indonesia kembali melaunching Focus Group Discussion (FGD) dengan Ketua Umarokhim, S.H. dan sebuah sayap organisasi ACTO (Asosiasi Customer Transportasi Online), yaitu sebagai Ketua Arvi Alvianda, S.H., di Sekolah Master Depok, Sabtu (23/03/2019).
Kendati demikian, Asosiasi Customer Transportasi Online (FGD) yang diselenggarakan setiap sebulan serta melibatkan beberapa instansi pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan lainya. Diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan intelektualitas dari kaum praktisi & akademisi LBH MASTER INDONESIA dan para akademisi lainya guna mencari solusi dalam permasalahan-permasalahan hukum bangsa dan negara dalam hal terabaikanya hak-hak warga negara yang di atur oleh konstitusi, UU & Peraturan lainya yang di langgar oleh stakeholder, pihak swasta & perorangan, ungkap Direktur Eksecutive LBH MASTER INDONESIA Fitrijansjah Toisutta, S.H. di sela-sela acara tersebut.
Adapun acara perdana FDG “DISKUSI RAKYAT” tersebut mengusng tema; “Menuju UU Yang Adil Bagi Penggiat Transportasi Online Driver Roda Dua, Roda Empat, Customer & Aplikator “.
Hal ini ada indikasi atas penggunaan Aplikator Go Pay, OVO dll, di mana driver roda dua maupun roda empat mendapatkan kerugian. Lebih parah lagi status kerja driver ojol saat ini dikatakan sebagai BUDAK MELENIAL atau cash & cow (sapi perah) yang tidak tidak di lindungi oleh payung hukum, kerugian konsumen di duga dimainkan oleh para aplikator seperti menaikan harga pada jam sibuk, saat hujan lebat dan lain sebagainya.
“Semangat untuk mendorong pemerintah membuat payung hukum UU, merupakan sebuah langkah terobosan dalam mengantisipasi nakalnya pebisnis digital yang dapat merusak tatanan ekonomi bisnis yang masuk dinegara kita,” kata Yudi Sekjen KATO (Komite Transportasi Online Indonesia).
Maka, dengan adanya revolusi industri yang digadangkan oleh pemerintah. Dan status pekerja seharusnya diterima oleh mitra driver, hal ini membuat pemerintah tidak siap menghadapi kemajuan atau dinamika perkembangan industri.
Dikatakannya, pula kaitan ojek online dan Revolusi industri 4.0 yang berlangsung begitu cepat membuat dunia usaha se akan dalam genggaman peranan kapitalis dengan adanya peningkatan industri dan peningkatan tenaga kerja scara sporadis.
“Kami mengharapkan keadilan demi tercapainya keinginan para pengguna jasa,” harap Yudi.
Sementara itu, Dedy Heryantoni dari Presedium Rembuk nasional pengemudi online (RNPO) Indonesia menilai, bahwa pemerintah membuat payung hukum ( Permenhub 118 ), saat ini tidur pulas karena akan dihadapi gejolak sosial yang berakibat ke gejolak politik, hal ini telah disampaikan kepada pemerintah khusus orang yang di ada dalam istana. Dan payung hukum yang pernah diajukan saat demo pada tahun 2016 di Istana negara, RNPO mencium ada indikasi kerugian negara dalam bisnis ini karena di duga aplikator mulai dari pajak ,ristribusi dan pengguna jalur pembayaran uang tunai dari mulai Gopay, Ovo dan lain – lain di gelapkan oleh mereka.
Lantas, apakah pemerintah atau pun OJK bertanya uang yang telah disetor oleh para pengguna jasa tersebut di setor ke instansi pemerintah atau instansi lainya? Uang yang nilainya mencapai triliyunan rupiah, bilamana kita berandai-andai para pengusaha jasa aplikator transportasi online lari meninggalkan Indonesian, pertanyaanya berapa pula nilai kerugian yang dialami oleh negara dan rakyat?
Dan dalam forum ini Direktur Eksecutive LBH Master Indonesia Fitrijansjah Toisutta, S.H., menyampaikan, dalam pengamatannya selama kurang lebih 5 Tahun transportasi online ini beroperasi, belum ada UU yang mengatur hak & kewajiban baik keuntungan, kesejahteraan, keamanan dan lain-lain dalam transaksi transportasi online ini. Ius constititum ( hukum positif atau UU & Peraturan yang lainya ) belum ada yang mengatur secara komprehensif, adil & tepat untuk kepentingan para driver roda dua, empat, customer/konsumen dan pengusaha transportasi online (aplikator).
Sedangkan untuk payung hukum yg ada bersifat sektoral atau hanya di miliki oleh driver roda empat. Itu juga sebatas Permenhub yang menurut saya juga se akan di paksakan guna mencari solusi sementara agar tidak terjadi gejolak atau aksi masiv driver di lapangan.
Permenhub No.118 Tahun 2018 Tentang Angkutan Sewa Khusus bagi driver roda empat & Permenhub No.12 Tahun 2019 Tentang driver roda dua menurut saya mirip ” Permenhub rasa UU ” atau singkat kata Permenhub yang di buat asal dan seakan sudah mengakomodir kepentingan para driver.
Menurut Permenhub roda empat substansi pembahasanya tidak sesuai dengan judul Permenhubnya. Hanya saja Permenhub roda empat memang ada perintah dari Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, ironisnya Permenhub Nomore 12 Tahun 2019 Tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat, bukan merupakan hasil turunan atau perintah dari UU yang ada di atasnya.
Dan Permenhub ini justru cacat hukum karena sudah melawan yurisprudensi MK Nomor. 41 Tahun 2018 yang pada intinya MK menolak JR Pasal 138 UU No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, dimana MK menilai kendaraan bermotor roda dua itu bukan merupakan transportasi darat yang tidak berbayar & tidak aman.
Namun disisi lainnya, menurut hakim Ketua MK bahwa dengan adanya putusan ini maka ojek online tetap berjalan tanpa regulasi.
Dengan adanya putusan MK ini maka Permenhub Nomor.12 Tahun 2019 ini tidak seharusnya ada. Maka konflik ini hanya diskresi rezim dengan politik hukumnya yurisprudensi MK pun di tabrak. Seiring berjalanya waktu LBH MASTER INDONESIA tetap mengupayakan adanya ius constituendum atau UU yang di harapkan ke depan dapat mendorong adanya keadilan pada penggiat transportasi online agar lebih baik dan memberikan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat di transportasi online. (Hadi/Fiah)