kabarindonesia.net, Depok — EVOLUSI atas dinamika sosial dimana pergeseran masyarakat semakin berkembang pesat di Kota Depok. Menurut sejarah Nusantara bahwa anak sungai Ciliwung yang berada di tepian Kota Kembang, memiliki nilai-nilai historis yang begitu menawan untuk ditelusuri bagi pencinta alam. Oleh sebab itu, asal muasal dari nama Sungai Ciliwung, yaitu Ci- Liwung atau biasa disebut oleh masyarakat Kota Depok, Sungai Ciliwung. Karena Sungai Ciliwung mempunyai peran terpenting di Tatar Pasundan, Pulau Jawa tersebut, karena sering menimbulkan bencana banjir tahunan di wilayah hilirnya, yaitu Kota Depok.
Hal ini menunjukkan bahwa Sungai Ciliwung memiliki panjang atas aliran utama yaitu hampir mencapai 120Km dengan daerah resapan debit airnya (daerah aliran sungai) mencapai sekitar 387Km2. Maka Sungai CIliwung merupakan sebagai bentuk alternatif wisata alam yang mempesona dengan pepohonan menjulang tinggi menghiasi kemolekan sungai tersebut. Kendati demikian, bahwa hulu sungai ini tepat berada di dataran tinggi, yaitu terletak di area perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, Gunung Gede, Gunung Pangrango dan Puncak, Jawa Barat.
Dan setelah melintasi wilayah timur Kota Bogor, anak sungai ini mengalir ke utara, yaitu di sisi barat tepat Jalan Raya Jakarta-Bogor, di sisi timur Kota Depok dan memasuki wilayah Jakarta sebagai batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Karena Ci Liwung akan bermuara di daerah Luar Batang, yaitu di dekat Pasar Ikan. Sedangkan di wilayah anak sungai Ci Liwung akan berbatasan dengan DAS Ci Sadane, DAS Kali Grogol dan DAS Kali Krukut. Sementara itu, di sebelah timurnya, yaitu DAS ini akan berbatasan dengan DAS Kali Sunter dan DAS di wilayah Manggarai, aliran Ci Liwung yang telah dimanipulasi oleh pemerintah pusat untuk mengendalikan debit air dalam pencegahan banjir.
Dalam pada itu, bahwa jalur aslinya merupakan aliran wilayah Cikini, Gondangdia hingga Gambir, namun setelah Pintu Air (Masjid Istiqlal) yaitu jalur lama tidak ditemukan lagi karena sudah dibuat sistem adanya kanal-kanal semenjak penjajahan Kolonialisme Belanda dimana sisi barat Jalan Gunung Sahari dan Kanal Molenliet diantara Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Disamping itu, di Manggarai, buatlah Kanal Banjir Barat yang mengarah ke barat, lantas membelok ke utara untuk melalui Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima hingga ke Pluit. Sedangkan untuk Kanal Banjir Timur akan direncanakan mulai dari sekitar wilayah Kampung Melayu ke timur, dan menghubungkan keberadaan aliran-aliran Ci Liwung, Ci Lilitan, Ci Pinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Cakung hingga ke wilayah Marunda.
Tentunya, keberadaan 13 sungai yang mengalir di Ibukota Jakarta, Ci Liwung memliki pengaruh yang begitu luas ketika sedang musim penghujang tiba karena air akan mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak perkampungan warga, maupun permukiman-permukiman kumuh. Maka sungai ini terbilang yang paling rawan dengan mengalami kerusakan bilamana dibandingkan sungai-sungai lain yang mengalir di Jakarta. Karena itu, daerah resapan airnya dibagian hulu di wilayah Puncak dan Bogor yang rusak, dimana badan sungai di wilayah Jakarta banyak mengalami penyempitan dan pendangkalan dengan menimbulkan daya tamping air sungai kembali menyusut dan mudah menerima kiriman banjir.
Diharapkan bahwa keberadaan dengan sistem pengendalian banjir sungai ini mencakup atas pembuatan sejumlah pintu air/pos pengamatan banjir, yaitu di bendungan Katulampa (Bogor), Depok, Manggarai, Karet serta Pintu Air Masjid Istiqlal maupun membagi aliran Ci Liwung melalui kanal-kanal banjir, yaitu Pemerintah Pusat pernah mewacananakan untuk membangun Waduk Ciawi di Gadog, Megamendung, Bogor sebagai cara untuk mengendalikan aliran sejak dari bagian hulu tersebut. (Fiah)