UU Perampasan Aset adalah rancangan undang-undang di Indonesia yang bertujuan memberikan dasar hukum kuat untuk menyita dan merampas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, seperti korupsi, terorisme, dan kejahatan keuangan lainnya. Aturan ini mengizinkan negara untuk mengambil aset hasil kejahatan melalui mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB), yaitu perampasan aset tanpa harus menghukum pelakunya terlebih dahulu, sehingga negara dapat memulihkan kerugian meskipun pelaku melarikan diri atau meninggal dunia.
Tujuan UU Perampasan Aset
Mengembalikan kerugian negara: Mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana ke negara atau korban tindak pidana.
Mencegah lahirnya koruptor: Menjadikan efek jera bagi para pelaku kejahatan dan mencegah terjadinya tindak pidana serupa di masa depan.
Memperkuat penindakan dan pencegahan: Memberikan instrumen hukum yang lebih efektif dalam memberantas kejahatan dan menindak para pelakunya.
Bagi Mahfud, inti dari RUU ini adalah agar negara memiliki dasar hukum yang kuat untuk merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu proses pidana selesai.
Aset yang bisa dirampas meliputi seluruh harta yang diperoleh dari tindak pidana, termasuk jika sudah dialihkan dalam bentuk lain, dijual, dihibahkan, atau diwariskan.
Contohnya yang banyak terjdi Misalnya, aset dihibahkan atas nama anak atau saudaranya. Pidananya masih cari-cari pasal, cari-cari bukti, sementara barangnya sudah dijual atau diwariskan,” tegasnya dalam forum Disway Professor Club #1 bertema Mengulik RUU Perampasan Aset di YouTube DI’sway, Jumat, 26 September 2025.
Mafud memaparkan terdapat 4 jenis tindak pidana yang harus di masukan kedalam UUD Mempredagakan pengruh, penyuapan di sektor suwasta, penyuapan pejabat publik asing dan pejabat publik internasional dimana hukum internsional tidak mengenal perampasan aset kerena belumnya di tetapkan UU perampasan Aset. Dimana banyak negra yang sudah mengsahkan UU perampasan aset ini.
Mahfud juga mencontohkan kasus BLBI, di mana banyak aset negara yang hilang karena masalah hukum yang sangat berlarut-larut.
Ia menambahkan bahwa ketika masalah baru terungkap, aset tersebut sering kali sudah habis. Menurutnya, harta hasil kejahatan yang dikonversikan menjadi barang, uang, atau aset lain atas nama orang lain maupun korporasi tetap bisa dirampas.
Bentuknya bisa berupa modal, pendapatan, atau keuntungan ekonomi yang diperoleh dari harta tersebut.
Tak hanya itu, aset milik sah pelaku tindak pidana juga dapat dirampas sebagai pengganti, jika nilai kejahatan yang terbukti lebih besar daripada nilai aset awal yang disita negara. Misalnya, si A melakukan kejahatan. Asetnya dirampas Rp5 miliar. Setelah vonis, ternyata terbukti kejahatannya Rp7,5 miliar. Maka, Rp2,5 miliar sisanya bisa diambil lagi,” tegas Mahfud.
RUU ini juga mengatur perampasan aset berupa barang temuan yang diduga kuat berasal dari tindak pidana. Ia mencontohkan kasus perampokan besar-besaran. Misalnya, kata Mahfud, dalam kasus perampokan besar-besaran, barang-barang yang ditinggalkan pelaku dapat dirampas negara melalui penetapan pengadilan.
Ia juga mencontohkan kasus BTS Kominfo, di mana ada seseorang yang menyerahkan uang Rp27 miliar ke kejaksaan dalam kaitannya dengan tindak pidana.
“Statusnya apa? Belum jelas sampai sekarang. Padahal orang itu menyerahkan. Kalau sudah disebut dalam putusan pengadilan, mestinya langsung bisa dirampas,” jelasnya.























