Pemerintah tengah mempercepat penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tata Kelola Program Makan Bergizi Gratis (MBG), menyusul meningkatnya jumlah kasus keracunan yang menimpa ribuan siswa di berbagai daerah.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengungkapkan bahwa Perpres tersebut ditargetkan rampung dan ditandatangani Presiden dalam pekan ini.
“Sekarang ini sedang diselesaikan terkait Perpres Tata Kelola Makan Bergizi, yang mudah-mudahan minggu ini sudah ditandatangani oleh Bapak Presiden,” ujar Dadan dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Sejak awal pelaksanaan program MBG pada Januari 2025, sebanyak 6.517 siswa dilaporkan mengalami keracunan. Berdasarkan data BGN, sebaran kasus terbagi dalam tiga wilayah:
Wilayah I (Sumatra): 1.307 siswa
Wilayah II (Jawa): 4.147 siswa + 60 kasus tambahan di Garut
Wilayah III (Indonesia Timur): 1.003 siswa
Wilayah Jawa menjadi penyumbang angka kasus tertinggi secara nasional.
Dadan menyebutkan penyebab utama kasus keracunan massal adalah pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) oleh sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) — dapur pelaksana program MBG.
Beberapa pelanggaran yang ditemukan antara lain:
Pemilihan bahan baku tidak sesuai ketentuan, misalnya belanja dilakukan H-4 padahal seharusnya maksimal H-2.
Proses memasak dan distribusi melebihi batas waktu maksimal 6 jam. Di beberapa kasus, waktu dari masak hingga distribusi mencapai 12 jam lebih.
“Seperti di Bandung itu ada yang masak dari jam 9, dan kemudian di-delivery-nya ada yang sampai jam 12, bahkan lebih dari 12 jam,” ujar Dadan.
Untuk meningkatkan keamanan pangan, BGN akan mewajibkan dua sertifikasi bagi semua dapur atau SPPG, yaitu:
Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan.
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) dari lembaga independen
“Kami ingin menerapkan sertifikasi keamanan pangan berupa HACCP,” jelas Dadan.
SPPG yang terbukti melanggar SOP akan dikenai sanksi tegas berupa penutupan sementara, dan hanya diperbolehkan beroperasi kembali setelah seluruh prosedur diperbaiki dan dipastikan sesuai ketentuan.






















