Jakarta, 9 November 2025 —
Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai beragam tanggapan dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Sebagian anggota dewan menilai Soeharto layak diberi penghargaan atas jasa-jasanya dalam pembangunan bangsa, sementara sebagian lainnya menilai perlu mempertimbangkan kembali rekam jejak sejarah yang meninggalkan luka bagi rakyat.
Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan moral dan fakta sejarah. Menurutnya, gelar pahlawan semestinya hanya diberikan kepada tokoh yang memiliki integritas tanpa cacat moral.
“Kata pahlawan berasal dari bahasa Sanskerta, pahala, yang berarti buah atau hasil. Jadi, pahlawan adalah orang yang menerima hasil dari perbuatannya. Gelar itu tidak boleh diberikan kepada seseorang yang meninggalkan luka bagi bangsanya,” ujar Bonnie kepada Parlementaria di Jakarta, Jumat (7/11/2025).
Bonnie juga mengingatkan bahwa gelar Pahlawan Nasional pertama kali diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Abdul Muis pada tahun 1950, sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang kemerdekaan. Ia menekankan agar prinsip perjuangan dan moralitas tanpa cela tetap menjadi dasar dalam penetapan gelar tersebut.
“Kalau bicara soal kebebasan berekspresi, dulu pada masa Soeharto kritik bisa dianggap subversif dan orang bisa hilang. Itu fakta sejarah,” tegasnya.
Selain itu, Bonnie menilai krisis ekonomi tahun 1997–1998 menjadi bukti bahwa pembangunan pada masa Soeharto bersifat rapuh dan tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil. Ia berpendapat, Soeharto lebih tepat dikenang sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai pahlawan nasional.
“Mungkin sebaiknya generasi mendatang yang menilai agar bisa lebih objektif dan berjarak dari pengalaman masa lalu,” tambahnya.
Berbeda pandangan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ansory Siregar, menilai proses penetapan gelar Pahlawan Nasional harus dilakukan secara objektif dan komprehensif. Ia mengingatkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, namun jasa besar seorang tokoh terhadap bangsa tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Pemberian gelar pahlawan adalah bentuk penghormatan negara kepada individu yang telah memberikan jasa besar. Kita harus menilai secara proporsional — tidak menutup mata terhadap kekurangan, tapi juga tidak menafikan kontribusinya bagi bangsa,” ujar Ansory, Sabtu (8/11/2025).
Ansory menilai Soeharto berjasa besar dalam membangun fondasi perekonomian nasional, stabilitas politik, infrastruktur, pertanian, dan pendidikan, sehingga dijuluki Bapak Pembangunan. Ia juga menyoroti peran Soeharto dalam diplomasi internasional, termasuk saat kunjungan ke Bosnia-Herzegovina pada 1995 di tengah konflik bersenjata.
“Langkah itu menunjukkan sisi kemanusiaan dan keberanian beliau, membawa nama Indonesia sebagai bangsa yang peduli pada perdamaian dan solidaritas umat,” katanya.
Ansory berharap proses penetapan gelar tersebut dilakukan dengan kejujuran sejarah dan semangat rekonsiliasi nasional.
“Pahlawan adalah manusia, dan manusia punya perjalanan yang kompleks. Keputusan apapun nanti harus bisa memperkuat persatuan dan menjadi teladan bagi generasi penerus,” pungkasnya.























