Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menargetkan eliminasi Tuberkulosis (TBC) pada tahun 2030. Target ini dinilai menantang, namun Kemenkes optimistis dapat tercapai melalui kolaborasi lintas kementerian dan perubahan strategi penanganan.
Koordinator Tim Kerja Surveilans Kemenkes, dr Triya Novita Dinihari, menjelaskan bahwa penanganan TBC bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga masalah sosial. Banyak masyarakat masih tinggal di kawasan padat penduduk yang meningkatkan risiko penularan TBC, namun tidak memiliki alternatif tempat tinggal lain.
“TBC bukan cuma soal kesehatan. Kalau ada pasien TB yang rumahnya tidak layak, maka rumah itu harus dibenahi. Ini bukan tugas Kemenkes saja, sehingga kami melibatkan Kementerian Perumahan,” ujar dr Dini saat ditemui di Jakarta Selatan, Rabu (12/11/2025).
Selain itu, penanganan pasien TBC resisten obat (TB-RO) juga menghadapi kendala administratif. “Tidak semua pasien punya BPJS atau KTP. Di sini kami perlu melibatkan sektor kependudukan,” tambahnya.
Pemerintah saat ini tengah merevisi Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, di mana nantinya 29 kementerian akan terlibat dalam upaya eliminasi TBC.
Menurut dr Dini, langkah utama eliminasi adalah diagnosis dan pengobatan cepat. Skrining harus dilakukan dengan metode yang lebih efektif, dan Kemenkes mengupayakan pemeriksaan dapat ditingkatkan di puskesmas.
Terkait target eliminasi pada 2030, ia tetap optimistis. Revisi Perpres nantinya juga akan menyesuaikan angka insiden TBC dengan target RPJMN 2029, yaitu 190 kasus per 100 ribu penduduk. Sementara insiden saat ini masih berada pada angka 386 kasus per 100 ribu penduduk.
“Kalau ditanya mungkin tidak tercapai? Saya bilang harus mungkin. Tapi tidak bisa dengan cara lama. Kita harus banting setir. Kalau dulu menunggu orang datang ke puskesmas, sekarang tidak lagi. Kita harus aktif menjemput masyarakat,” tegasnya.
Penemuan kasus secara aktif akan difokuskan di lokasi prioritas seperti lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, dan wilayah padat penduduk. Ia juga mendorong pemerintah daerah menciptakan inovasi masing-masing dalam menemukan kasus.
“Semua komponen harus bergerak dan semua lini bergerak,” tutup dr Dini.























